Kabar menggembirakan datang dari KementerianKebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah. Orang nomor satu di kementerian mulai mengungkap teka-teki perihal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2015 . "Pemerintah tidak akan menghapus Ujian Nasional. Namun, hasil Ujian Nasional tidak jadi tolok ukur kelulusan. Ujian Nasional 2015 hanya dijadikan pemetaan pemerataan kualitas pendidikan nasional," demikian ungkap Anies Baswedan yang dilansir beberapa media nasional hari ini, Jum'at 14 Nopember 2014. Super sekali..... pinjam istilah motivator ulung: Mario Teguh.
Ya, sudah sejak lama Ujian Nasional di negeri selalu jadi trending topic, kajian menarik sekaligus bahan pergunjingan. Bahkan yang paling parah, Ujian Nasional telah memunculkan fenomena-fenomena yang seharusnya dilarang dan tabu muncul di dunia pendidikan. Tapi apa lacur, demi "menyelamatkan" muka, "menyelamatkan" nasib peserta didik, "menyelamatkan" nasib sekolah, menyelamatkan prestise sekolah, "menyelamatkan" jabatan dan seabreg demi-demi yang lain, Ujian Nasional kehilangan roh-nya sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Jika apa yang disampaikan oleh Anies Baswedan itu menjadi sebuah keputusan dan ketetapan (diundangkan dalam bentuk permendikdasmen dahulu permendikbud), artinya dunia pendidikan mendapat angin segar. Pro kontra Ujian Nasional tidak lagi akan meruncing seperti sebelumnya. Tidak perlu menyiagakan polisi dengan tugas high security untuk mengawal soal pelaksanaan Ujian Nasional. Bahkan, profesor-profesor pun tak perlu demo menolak Ujian Nasional.
Ujian Nasional memang seharusnya dikembalikan fungsinya sebagai pemetaan pemerataan kualitas pendidikan. Inilah kebijakan yang paling adil dan pas bagi sekolah. Fakta di lapangan secara kasat mata sudah tampak bahwa kualitas pendidikan di tanah air memang belum merata. Kualitas dan kuantitas sarana pendidikan belum seluruhnya memadai. Kualitas, kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik belum terpenuhi. Beberapa daerah masih begitu terbatas akses informasi. Dukungan masyarakat dan kondisi geografi yang kurang menunjang. Semua itu merupakan data faktual yang akan sangat berpengaruh pada kualitas hasil belajar siswa. Jika dipaksakan harus lulus Ujian Nasional dengan passing grade yang sama... artinya selama ini keberadaan Ujian Nasional memang patut dipertanyakan.
Sudah sepatutnya kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan (sekolah) menjadi hak penuh pengelola sekolah. Ujian Nasional tidak boleh lagi mem-veto kelulusan peserta didik gara-gara tidak mampu memenuhi passing grade yang ditentukan pemerintah. Jika memang siswa secara akademik tidak mampu melampaui passing grade fisika, kimia, atau matematika, ya sudah.... Memang segitu kemampuannya. Apakah anak-anak yang secara akademik IPA itu harus tidak lulus? Apakah mereka tidak punya kemampuan yang lain yang bisa digunakan dan diandalkan untuk terjun ke dunia yang sesungguhnya? Salah besar jika kita memvonis kemampuan seorang anak manusia yang memang diciptakan unik. Sekolah dan stake holder-lah yang paling tahu dan paham kondisi anak didiknya. Artinya, keputusan lulus dan tidak lulus, tidak semata-mata tergantung dari raihan rendah tingginya kemampuan akademik (nilai hasil tes).
Selama ini ada suara sumbang, jika Ujian Nasional ditiadakan atau tidak berkontribusi pada penentuan pelulusan, dikuatirkan maka semua sekolah akan meluluskan semua peserta didiknya. Faktanya, "eksperimen" Ujian Nasional selama ini pun selalu gagal menyetop sinyelemen itu karena faktanya malah dengan Ujian Nasional sekolah malah terpacu untuk meluluskan semua peserta didiknya!
Saya yakin, jika Ujian Nasional hanya pemetaan dan kelulusan ditentukan mutlak oleh sekolah, maka sekolah-sekolah akan lebih bergairah dalam mengembalikan proses pendidikan ke jalur yang benar. Tidak seperti yang sudah lalu, sekolah berubah jadi BIMBINGAN BELAJAR. Calon peserta ujian nasional yang berduit berlomba ikut bimbingan belajar (BIMBEL) di luar. Semua itu hanya demi meraih sebuah nilai. Hanya upaya melampaui passing grade semata. Tidak mecerminkan kualitas peserta didik maupun satuan pendidikan. Maka, proses pembelajaran dengan scientific aprroach pun akhirnya jadi omong kosong belaka.
Sumber: Anies Baswedan/Kompas.com
Top deh emang anies baswedan, kagum sama beliau
BalasHapus